NAMA: DWI CHUSWANDA
KELAS: 4EA03
NPM: 12211233
Menyingkap sepenggal Waltevreden, dari Medan Merdeka Timur, Lapangan Banteng, hingga ke Pasar Baru. Ada cerita kuli yang jadi arsitek dadakan. Juga para pemuja setan di dekat Istana Daendels.
Tak disangka Batavia telah beralih rupa. Seorang pendatang dari Belanda bernama Couperus menuturkan kengeriannya saat turun dari kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa pada tahun 1815. Ketika menjelajahi Princenstraat yang kini menjadi Jalan Cengkeh, sebelah utara Kantor Pos Jakarta Kota, didapatinya beberapa gedung di kota tua telah rata dengan tanah, termasuk Istana Gubernur Jenderal yang megah. Dia menghela nafas panjang, benar-benar tak ditemui lagi kota yang berjuluk “Ratu dari timur”. Batavia lama telah berganti menjadi kota hantu yang senyap.
Begitulah Alwi Shahab mengilustrasikan kondisi kota tua Batavia yang mengalami kemunduran di awal abad 19. Kota tua menjadi tak layak huni. Sistem kanal tak sepenuhnya menyelesaikan masalah banjir. Justru air kanal yang mampet mengeluarkan bau busuk menusuk hidung. Lumpur bercampur kotoran manusia dan juga bangkai babi serta bangkai kuda tampak tersangkut di dalamnya. Belum lagi di musim hujan, luapan kanal yang menggenangi kota bakal menyisakan beragam masalah.
Akibatnya, air tanah di pusat kota yang sangat dekat dengan permukaan menjadi tak layak dikonsumsi. Mayoritas penduduk yang mengambil air dari sungai menjadi sasaran penyakit disentri dan tifus. Namun pembunuh utama yang menjadi musuh masyarakat Batavia adalah Malaria yang bergentayangan dari genangan air dan rawa-rawa. Tak ayal, pusat kota tua di tepi pantai ini menjadi sarang penyakit dan “kuburan” orang Belanda yang menakutkan.
Tidak mengherankan jika Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels menghancurkan kota tua pada tahun 1808 dan memindahkannya belasan kilometer ke selatan. Pusat kota berpindah ke Weltevreden atau sekitar Gambir dan Lapangan Banteng. Bisa ditebak, kawasan Batavia baru ini berkembang begitu pesat. Gedung dan perumahan bermunculan di seputar tempat yang dulunya berupa hutan belantara. Dan layar sejarah pun turut berubah.
Ratusan tahun setelah Daendels memindahkan pusat Batavia ke Waltevreden, terlihat awan tipis memayungi kota yang kini sudah berganti nama menjadi Jakarta. Seperti biasa, minggu pagi jalanan ibukota selalu disesaki masyarakat yang sedang berolah raga. Namun yang tak biasa di hari Minggu 22 April 2012 adalah serombongan orang yang terlihat berkerumun di pelataran Gedung Galeri Nasional. Ada apa gerangan?
Rupanya massa yang dominan berbaju merah dan putih ini sangat antusias mengikuti acara jalan-jalan sejarah menelusuri gedung tua di kawasan Weltevreden alias New Batavia. Acara yang digagas Komunitas Historia Indonesia (KHI) ini beranjak dari keprihatinan akan rendahnya animo masyarakat terhadap sejarah. Jas Merah, jangan sekali-sekali masuk jurusan sejarah. Demikian plesetan yang diungkapkan oleh Asep Kambali, pendiri Komunitas Historia Indonesia, demi menyindir betapa miskinnya perhatian khalayak pada sejarah.
Karenanya, dengan gelaran Jakarta Heritage Trails : Historical Walks To Weltevreden, diharapkan masyarakat dapat memahami sejarah dengan cara yang murah dan menyenangkan. “Kami ingin mengemas program ini menjadi lebih menarik, bermanfaat, dan fun,” tutur alumnus Jurusan Sejarah Universitas Negeri Jakarta itu di situs resmi Komunitas Historia.
Tanpa berpikir terlalu panjang, anakku dan saya sendiri segera tercatat sebagai partisipan. Bahkan anak saya yang duduk di bangku Taman Kanak-Kanak menjadi peserta termuda. Ya, hitung-hitung mengenalkan sejarah bangsa semenjak dini.
“Dulu Galeri Nasional ini adalah gedung sekolah,” ujar Dhanu Wibowo salah satu pemandu dari KHI mengawali cerita. Sejarah mencatat bangunan Galeri Nasional ini didirikan pada tahun 1902 oleh Yayasan Kristen Carpenter Alting Stiching (CAS). Meski awalnya sebagai sekolah, tapi gedung ini senantiasa berganti-ganti fungsi.
Sempat menjadi asrama HBS wanita, lantas pernah dipakai pula sebagai markas pergerakan KAMI-KAPPI di akhir orde lama. Namun itupun tak berjalan lama, Brigade Infanteri I Jaya Sakti Kodam Jaya sempat pula bermarkas di gedung ini. Sampai pada tahun 1981 bangunan berarsitektur lama ini diserahkan ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk menjadi Galeri Nasional Indonesia.
Kini karya-karya seni rupa kontemporer terlihat menghiasi halaman gedung. Tampak sebuah patung lelaki gondrong berkaos oblong dan bercelana jeans berdiri miring, seakan mencerminkan perilaku manusia urban kelas menengah bawah. Juga karya kontemporer modern serupa dua tangan terkait menjadi simbol keseimbangan di tengah halaman gedung. Sayangnya peserta tak bisa memasuki bagian dalam bangunan, tapi saat kami melewati koridor gedung, sedikit terbayang suasana pendidikan di jaman Hindia Belanda.
Lepas dari Galeri Nasional, kami disambut suasana Jalan Medan Merdeka Timur yang sedikit lengang. Lalu lintas memang tak seramai hari kerja. Sesekali terdengar gemuruh suara kereta yang melintas di antara tiang-tiang beton menuju stasiun Gambir. “Ayo siapa yang tahu asal mula Gambir?” Tiba-tiba Dhanu melontarkan sebuah pertanyaan yang membuat kami berpikir.
Menurutnya, yang sangat populer di masyarakat, kata Gambir diambil dari nama pohon yang kabarnya dulu banyak tumbuh di sekitar tempat ini. Namun, ada versi lain yang menyebutkan bahwa sebenarnya nama tersebut diambil dari nama Kapiten Belanda yang kemudian dilafalkan oleh lidah lokal menjadi Gambir. Mana yang benar, barangkali tak terlalu penting untuk diperdebatkan.
Tak jauh dari Galeri Nasional sesosok gedung berdiri tanpa menonjolkan diri. Memang tak ada yang menarik dari arsitektur bangunan yang dibangun tahun 1960-an dan kini dipakai sebagai Wisma Pertamina. Tapi yang membuat saya sedikit terkesiap ialah penjelasan Dhanu, “Masyarakat sering memanggilnya sebagai gedung sombong.” Olala! Sejenak saya perhatikan lebih seksama. Gedung sombong ini memang tidak menghadap langsung ke jalan tapi menyamping ke sisi kiri sehingga menyerupai orang “buang muka”. Ada-ada saja.
Tak lebih dari lima menit kami sudah memasuki bangunan bersejarah Gereja Immanuel. Dari sebuah prasasti di halaman gereja disebutkan bahwa pembangunan gedung ini merupakan kesepakatan antara umat Reformasi dan Lutheran di Batavia. Peletakan batu pertama dilakukan pada 24 Agustus 1835, meskipun perancangan sudah dilakukan setahun sebelumnya. Empat tahun kemudian, 24 Agustus 1839, pembangunan berhasil diselesaikan sekaligus diresmikan menjadi sebuah gereja untuk menghormati Raja Belanda Willem I.
Kisah menarik terkuak dari pembangunan Gereja yang awalnya bernamaWillemskerk ini. Ternyata arsitek gedung ini, J.H. Horst, sebenarnya adalah seorang tukang ukur tanah. Namun, meskipun begitu, karya yang dihasilkannya termasuk bangunan monumental dengan gaya klasisisme Inggris abad k-18. Sayangnya beberapa orang masih meragukan keaslian rancangannya karena Gereja yang berubah nama menjadi Immanuel di tahun 1948 ini mirip sekali dengan arsitektur Gereja Blenduk di Semarang.
Siang perlahan memancar terang. Segera kami bergegas menuju kawasan Pejambon karena salah satu aktivis KHI mengingatkan kalau kami tak punya banyak waktu untuk mengunjungi Gedung Pancasila. Di tengah perjalanan, lagi-lagi Dhanu memberikan satu pertanyaan yang mengusik perhatian saya, “Ayo siapa yang tahu asal mula kata Pejambon?”
Tampaknya tak ada seorang peserta yang tahu. Lalu dengan santai pemandu KHI itu menjawab, “Pejambon itu singkatan dari Penjaga Ambon.” Kemudian dia menerangkan tentang penjaga perumahan kawasan ini yang hampir semuanya berasal dari etnis Indonesia Timur tersebut. Kami pun hanya manggut-maggut.
Sampailah kami di sebuah gedung bercat putih dengan halaman rumput yang luas. Di atasnya berdiri megah Burung Garuda Pancasila dengan tulisan tegas Gedung Pancasila. Di beberapa literatur disebutkan bahwa gedung ini dibangun sekitar tahun 1830. Bangunan ini awalnya dibangun untuk kediaman Letnan Gubernur Jenderal. Tapi pada Mei 1918 dialihfungsikan sebagai Gedung Volksraad atau Dewan Perwakilan Rakyat jaman Hindia Belanda. Di masa penjajahan Jepang, gedung ini juga menorehkan catatan sejarah menuju kemerdekaan bangsa. Beberapa kali tempat ini dipakai untuk sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
Peristiwa monumental terjadi saat Ir Soekarno memaparkan pemikiran lima sila yang diusulkan menjadi Dasar Negara Indonesia Merdeka pada tanggal 1 Juni 1945. Gedung pun dipenuhi tepuk tangan yang riuh rendah dan membahana seusai pidato. Bahkan Dr. Radjiman Wedyodiningrat menyebut bahwa pidato itu keluar dari jiwa Soekaarno secara spontan. Artinya, hasrat merdeka memang tak mungkin lagi dikekang-kekang.
Tak cuma itu, selanjutnya Gedung Pancasila juga dipakai untuk sidang perumusan Piagam Jakarta dan Undang-Undang Dasar Indonesia Merdeka. Bahkan pada tanggal 16 Agustus 1945, sempat akan diadakan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di gedung tersebut. Tapi kondisi politik saat itu memaksa para pemuda menculik Sang Proklamator ke Rengasdengklok. Akibatnya rapat persiapan kemerdekaan pun batal. Padahal seandainya rapat tersebut jadi dilaksanakan, bukan tidak mungkin Proklamasi Kemerdekaan dilakukan pada tanggal 16 Agustus 1945 di gedung tersebut.
Sejarah terus bergulir. Gedung Voolksraad itu akhirnya diserahkan ke Departemen Luar Negeri dan mulai dikenal sebagai Gedung Pancasila sejak 1 Juni 1964. Selama dasawarsa 1960-an, Gedung ini dipakai untuk mendidik calon-calon diplomat. Kini Gedung bersejarah ini lebih sering digunakan untuk kegiatan seremonial kenegaraan, seperti resepsi kunjungan petinggi asing, penandatanganan perjanjian, pertemuan bilateral, dan resepsi diplomatik, serta jamuan makan kenegaraan resmi dan tidak resmi.
Tepat di halaman depan terdapat sebuah prasasti kecil bertuliskan “Bagimu Negeri, Jiwa Raga Kami“. Di belakangnya berdiri Pohon Zaitun sebagai pralambang perdamaian. Inilah Sebuah penghargaan kecil pada para pahlawan dan pejuang diplomasi atas pengabdian mereka bagi ibu pertiwi dan perdamaian dunia.
Matahari bergerak menemani penjelajahan kami yang sudah mencapai Taman Lapangan Banteng. ”Ayah, Lapangan Banteng itu dulu banyak bantengnya ya,” tanya anakku spontan. Saya terkesiap tak mampu menjawabnya.
Akhirnya pemandu sejarah KHI dengan sukarela menerangkan kisah Lapangan yang dulunya bernama Waterlooplein. Pada masa itu, lapangan banteng dikenal dengan sebutan Lapangan Singa karena terpancang tugu obelisk dengan patung singa di atasnya. Tugu ini sebagai ejekan atas kekalahan pertempuran Napoleon di Waterloo. Namun Orang Belanda sering menamai singa itu sebagai anjing pudel karena bentuknya yang sekilas lebih mirip anjing.
Sebelumnya di tempat ini juga berdiri monumen untuk mengenang Mayor Jenderal Andres Victor Michiels, seorang komandan Belanda yang tewas ketika memadamkan pemberontakan di Bali pada 23 Mai 1849. Monumen kolonial dan tugu singa itu sendiri dihancurkan pada masa penjajahan Jepang. Dan di era kemerdekaan dibangunlah Tugu Pembebasan Irian Barat tepat di atas tugu singa.
Penamaan Banteng sendiri memiliki banyak versi. Ada yang mengatakan bahwa banteng adalah hewan kesayangan Soekarno yang melambangkan semangat patriotisme Bangsa Indonesia. Beberapa orang menganggap penamaan banteng itu karena dulunya di tempat ini pernah menjadi tempat adu balap sapi dan banteng. Namun beberapa orang mempercayai bahwa konon di lapangan ini dulunya dihuni banteng dan aneka satwa liar.
Setelah puas berfoto-foto, kami hendak melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya. Namun terlihat beberapa penggiat KHI berdebat serius dengan para penjaga keamanan Taman Lapangan Banteng. Saya teringat satu artikel di Harian Kompas seminggu lalu tentang kondisi taman di Jakarta yang sarat dengan pungutan liar. Dengan sedikit bersungut-sungut Dhanu mengeluh di sebelah saya, “Yah… pasti UUD (Ujung-ujungnya Duit). Padahal kami sudah memberitahukan acara ini ke Pos Kepolisian terdekat.”
Saya terdiam sembari bertanya dalam hati, apakah jaman dulu sudah ada pungli di ruang publik semacam ini?
Perjalanan pun berlanjut ke arah timur menuju Gedung Kementerian Keuangan yang dulu dikenal sebagai Istana Daendels. Konon bangunan ini dibangun dari material yang dibawa dari reruntuhan bangunan di kota tua. Dulunya di depan bangunan ini terpampang patung Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen yang berdiri angkuh menunjuk jari telunjuknya. Tapi jaman senantiasa berputar. Patung kokoh yang bertahtakan baja, perunggu, dan kuningan ini pun runtuh dan dihancurkan di masa pendudukan Jepang. Saking kuatnya patung Coen, sampai-sampai tangannya dijadikan bahan pistol.
Tak jauh dari Istana Daendels berdiri gedung megah dengan enam pilar kokoh penyangga. Orang-rang Batavia dengan penuh ketakutan menyebutnya sebagai rumah setan. Bangunan yang memiliki loji ini merupakan perkumpulan kaumTheosofi De Ster in het Oosten atau Bintang Timur. Di sinilah pusat kegiatan Freemason, suatu gerakan yang menjadi kaki tangan zionisme sejak abad ke-18 di Indonesia.
Organisasi ini terlihat begitu tertutup dan merahasiakan sebagian ritual dan kegiatannya. Tak ayal masyarakat sering menduga organisasi ini sebagai perkumpulan pemuja setan. Makanya para pribumi Batavia membisikkan dengan penuh kengerian untuk bangunan di dekat Lapangan Banteng itu. Ketakutan itu perlahan sirna setelah tempat itu diambil alih menjadi gedung farmasi Kimia Farma hingga sekarang.
Tak berapa lama, kami pun sampai ke pemberhentian akhir di Gedung Kesenian Jakarta. Sebuah bangunan warisan Raffles (tahun 1811 – 1816) ini menjadi saksi kegemaran tentara-tentara Inggris terhadap berkesenian. Pada malam peresmian Gedung Kesenian, dipentaskan drama Othello karya pujangga terkemuka William Shakespeare. Sampai sekarang pun, gedung ini tetap eksis untuk senantiasa menampilkan pagelaran seni bercita rasa tinggi dari seniman-seniman terkemuka di jamannya.
Siang kian mendekati titik kulminasi. Beragam kisah tercurah dari penggalan sejarah sepanjang Weltevreden. Pelan saya meninggalkan gedung tua ini sembari menggandeng tangan anakku. Sementara pikirannya masih tak bisa lepas dari Lapangan Banteng, “Sekarang bantengnya sudah mati ya, Ayah?”
Saya memandang wajahnya yang tanpa dosa. Saya mengangguk pelan sembari berbisik, “Tapi sejarah itu tak pernah mati, Anakku.”
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2012/04/29/saat-sejarah-menjadi-kisah-453531.html