Archive for Desember, 2014

Saat Sejarah Menjadi Kisah

NAMA: DWI CHUSWANDA

KELAS: 4EA03

NPM: 12211233

Menyingkap sepenggal Waltevreden, dari Medan Merdeka Timur, Lapangan Banteng, hingga ke Pasar Baru. Ada cerita kuli yang jadi arsitek dadakan. Juga para pemuja setan di dekat Istana Daendels.

Tak disangka Batavia telah beralih rupa. Seorang pendatang dari Belanda bernama Couperus menuturkan kengeriannya saat turun dari kapal di Pelabuhan Sunda Kelapa pada tahun 1815. Ketika menjelajahi Princenstraat yang kini menjadi Jalan Cengkeh, sebelah utara Kantor Pos Jakarta Kota, didapatinya beberapa gedung di kota tua telah rata dengan tanah, termasuk Istana Gubernur Jenderal yang megah. Dia menghela nafas panjang, benar-benar tak ditemui lagi kota yang berjuluk “Ratu dari timur”. Batavia lama telah berganti menjadi kota hantu yang senyap.

Begitulah Alwi Shahab mengilustrasikan kondisi kota tua Batavia yang mengalami kemunduran di awal abad 19. Kota tua menjadi tak layak huni. Sistem kanal tak sepenuhnya menyelesaikan masalah banjir. Justru air kanal yang mampet mengeluarkan bau busuk menusuk hidung. Lumpur bercampur kotoran manusia dan juga bangkai babi serta bangkai kuda tampak tersangkut di dalamnya. Belum lagi di musim hujan, luapan kanal yang menggenangi kota bakal menyisakan beragam masalah.

Akibatnya, air tanah di pusat kota yang sangat dekat dengan permukaan menjadi tak layak dikonsumsi. Mayoritas penduduk yang mengambil air dari sungai menjadi sasaran penyakit disentri dan tifus. Namun pembunuh utama yang menjadi musuh masyarakat Batavia adalah Malaria yang bergentayangan dari genangan air dan rawa-rawa. Tak ayal, pusat kota tua di tepi pantai ini menjadi sarang penyakit dan “kuburan” orang Belanda yang menakutkan.

Tidak mengherankan jika Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels menghancurkan kota tua pada tahun 1808 dan memindahkannya belasan kilometer ke selatan. Pusat kota berpindah ke Weltevreden atau sekitar Gambir dan Lapangan Banteng. Bisa ditebak, kawasan Batavia baru ini berkembang begitu pesat. Gedung dan perumahan bermunculan di seputar tempat yang dulunya berupa hutan belantara. Dan layar sejarah pun turut berubah.

13356807221784554011

Ratusan tahun setelah Daendels memindahkan pusat Batavia ke Waltevreden, terlihat awan tipis memayungi kota yang kini sudah berganti nama menjadi Jakarta. Seperti biasa, minggu pagi jalanan ibukota selalu disesaki masyarakat yang sedang berolah raga. Namun yang tak biasa di hari Minggu 22 April 2012 adalah serombongan orang yang terlihat berkerumun di pelataran Gedung Galeri Nasional. Ada apa gerangan?

Rupanya massa yang dominan berbaju merah dan putih ini sangat antusias mengikuti acara jalan-jalan sejarah menelusuri gedung tua di kawasan Weltevreden alias New Batavia. Acara yang digagas Komunitas Historia Indonesia (KHI) ini beranjak dari keprihatinan akan rendahnya animo masyarakat terhadap sejarah. Jas Merah, jangan sekali-sekali masuk jurusan sejarah. Demikian plesetan yang diungkapkan oleh Asep Kambali, pendiri Komunitas Historia Indonesia, demi menyindir betapa miskinnya perhatian khalayak pada sejarah.

Karenanya, dengan gelaran Jakarta Heritage Trails : Historical Walks To Weltevreden, diharapkan masyarakat dapat memahami sejarah dengan cara yang murah dan menyenangkan. “Kami ingin mengemas program ini menjadi lebih menarik, bermanfaat, dan fun,” tutur alumnus Jurusan Sejarah Universitas Negeri Jakarta itu di situs resmi Komunitas Historia.

Tanpa berpikir terlalu panjang, anakku dan saya sendiri segera tercatat sebagai partisipan. Bahkan anak saya yang duduk di bangku Taman Kanak-Kanak menjadi peserta termuda. Ya, hitung-hitung mengenalkan sejarah bangsa semenjak dini.

1335677880459706478

“Dulu Galeri Nasional ini adalah gedung sekolah,” ujar Dhanu Wibowo salah satu pemandu dari KHI mengawali cerita. Sejarah mencatat bangunan Galeri Nasional ini didirikan pada tahun 1902 oleh Yayasan Kristen Carpenter Alting Stiching (CAS). Meski awalnya sebagai sekolah, tapi gedung ini senantiasa berganti-ganti fungsi.

Sempat menjadi asrama HBS wanita, lantas pernah dipakai pula sebagai markas pergerakan KAMI-KAPPI di akhir orde lama. Namun itupun tak berjalan lama, Brigade Infanteri I Jaya Sakti Kodam Jaya sempat pula bermarkas di gedung ini. Sampai pada tahun 1981 bangunan berarsitektur lama ini diserahkan ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk menjadi Galeri Nasional Indonesia.

Kini karya-karya seni rupa kontemporer terlihat menghiasi halaman gedung. Tampak sebuah patung lelaki gondrong berkaos oblong dan bercelana jeans berdiri miring, seakan mencerminkan perilaku manusia urban kelas menengah bawah. Juga karya kontemporer modern serupa dua tangan terkait menjadi simbol keseimbangan di tengah halaman gedung. Sayangnya peserta tak bisa memasuki bagian dalam bangunan, tapi saat kami melewati koridor gedung, sedikit terbayang suasana pendidikan di jaman Hindia Belanda.

13356809011474059545

Lepas dari Galeri Nasional, kami disambut suasana Jalan Medan Merdeka Timur yang sedikit lengang. Lalu lintas memang tak seramai hari kerja. Sesekali terdengar gemuruh suara kereta yang melintas di antara tiang-tiang beton menuju stasiun Gambir. “Ayo siapa yang tahu asal mula Gambir?” Tiba-tiba Dhanu melontarkan sebuah pertanyaan yang membuat kami berpikir.

Menurutnya, yang sangat populer di masyarakat, kata Gambir diambil dari nama pohon yang kabarnya dulu banyak tumbuh di sekitar tempat ini. Namun, ada versi lain yang menyebutkan bahwa sebenarnya nama tersebut diambil dari nama Kapiten Belanda yang kemudian dilafalkan oleh lidah lokal menjadi Gambir. Mana yang benar, barangkali tak terlalu penting untuk diperdebatkan.

Tak jauh dari Galeri Nasional sesosok gedung berdiri tanpa menonjolkan diri. Memang tak ada yang menarik dari arsitektur bangunan yang dibangun tahun 1960-an dan kini dipakai sebagai Wisma Pertamina. Tapi yang membuat saya sedikit terkesiap ialah penjelasan Dhanu, “Masyarakat sering memanggilnya sebagai gedung sombong.” Olala! Sejenak saya perhatikan lebih seksama. Gedung sombong ini memang tidak menghadap langsung ke jalan tapi menyamping ke sisi kiri sehingga menyerupai orang “buang muka”. Ada-ada saja.

Tak lebih dari lima menit kami sudah memasuki bangunan bersejarah Gereja Immanuel. Dari sebuah prasasti di halaman gereja disebutkan bahwa pembangunan gedung ini merupakan kesepakatan antara umat Reformasi dan Lutheran di Batavia. Peletakan batu pertama dilakukan pada 24 Agustus 1835, meskipun perancangan sudah dilakukan setahun sebelumnya. Empat tahun kemudian, 24 Agustus 1839, pembangunan berhasil diselesaikan sekaligus diresmikan menjadi sebuah gereja untuk menghormati Raja Belanda Willem I.

Kisah menarik terkuak dari pembangunan Gereja yang awalnya bernamaWillemskerk ini. Ternyata arsitek gedung ini, J.H. Horst, sebenarnya adalah seorang tukang ukur tanah. Namun, meskipun begitu, karya yang dihasilkannya termasuk bangunan monumental dengan gaya klasisisme Inggris abad k-18. Sayangnya beberapa orang masih meragukan keaslian rancangannya karena Gereja yang berubah nama menjadi Immanuel di tahun 1948 ini mirip sekali dengan arsitektur Gereja Blenduk di Semarang.

1335678419800105391

Siang perlahan memancar terang. Segera kami bergegas menuju kawasan Pejambon karena salah satu aktivis KHI mengingatkan kalau kami tak punya banyak waktu untuk mengunjungi Gedung Pancasila. Di tengah perjalanan, lagi-lagi Dhanu memberikan satu pertanyaan yang mengusik perhatian saya, “Ayo siapa yang tahu asal mula kata Pejambon?”

Tampaknya tak ada seorang peserta yang tahu. Lalu dengan santai pemandu KHI itu menjawab, “Pejambon itu singkatan dari Penjaga Ambon.” Kemudian dia menerangkan tentang penjaga perumahan kawasan ini yang hampir semuanya berasal dari etnis Indonesia Timur tersebut. Kami pun hanya manggut-maggut.

Sampailah kami di sebuah gedung bercat putih dengan halaman rumput yang luas. Di atasnya berdiri megah Burung Garuda Pancasila dengan tulisan tegas Gedung Pancasila. Di beberapa literatur disebutkan bahwa gedung ini dibangun sekitar tahun 1830. Bangunan ini awalnya dibangun untuk kediaman Letnan Gubernur Jenderal. Tapi pada Mei 1918 dialihfungsikan sebagai Gedung Volksraad atau Dewan Perwakilan Rakyat jaman Hindia Belanda. Di masa penjajahan Jepang, gedung ini juga menorehkan catatan sejarah menuju kemerdekaan bangsa. Beberapa kali tempat ini dipakai untuk sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).

Peristiwa monumental terjadi saat Ir Soekarno memaparkan pemikiran lima sila yang diusulkan menjadi Dasar Negara Indonesia Merdeka pada tanggal 1 Juni 1945. Gedung pun dipenuhi tepuk tangan yang riuh rendah dan membahana seusai pidato. Bahkan Dr. Radjiman Wedyodiningrat menyebut bahwa pidato itu keluar dari jiwa Soekaarno secara spontan. Artinya, hasrat merdeka memang tak mungkin lagi dikekang-kekang.

13356810891198669864

Tak cuma itu, selanjutnya Gedung Pancasila juga dipakai untuk sidang perumusan Piagam Jakarta dan Undang-Undang Dasar Indonesia Merdeka. Bahkan pada tanggal 16 Agustus 1945, sempat akan diadakan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di gedung tersebut. Tapi kondisi politik saat itu memaksa para pemuda menculik Sang Proklamator ke Rengasdengklok. Akibatnya rapat persiapan kemerdekaan pun batal. Padahal seandainya rapat tersebut jadi dilaksanakan, bukan tidak mungkin Proklamasi Kemerdekaan dilakukan pada tanggal 16 Agustus 1945 di gedung tersebut.

Sejarah terus bergulir. Gedung Voolksraad itu akhirnya diserahkan ke Departemen Luar Negeri dan mulai dikenal sebagai Gedung Pancasila sejak 1 Juni 1964. Selama dasawarsa 1960-an, Gedung ini dipakai untuk mendidik calon-calon diplomat.  Kini Gedung bersejarah ini lebih sering digunakan untuk kegiatan seremonial kenegaraan, seperti resepsi kunjungan petinggi asing, penandatanganan perjanjian, pertemuan bilateral, dan resepsi diplomatik, serta jamuan makan kenegaraan resmi dan tidak resmi.

Tepat di halaman depan terdapat sebuah prasasti kecil bertuliskan “Bagimu Negeri, Jiwa Raga Kami“. Di belakangnya berdiri Pohon Zaitun sebagai pralambang perdamaian. Inilah Sebuah penghargaan kecil pada para pahlawan dan pejuang diplomasi atas pengabdian mereka bagi ibu pertiwi dan perdamaian dunia.

13356789571455622249

Matahari bergerak menemani penjelajahan kami yang sudah mencapai Taman Lapangan Banteng. ”Ayah, Lapangan Banteng itu dulu banyak bantengnya ya,” tanya anakku spontan. Saya terkesiap tak mampu menjawabnya.

Akhirnya pemandu sejarah KHI dengan sukarela menerangkan kisah Lapangan yang dulunya bernama Waterlooplein. Pada masa itu, lapangan banteng dikenal dengan sebutan Lapangan Singa karena terpancang tugu obelisk dengan patung singa di atasnya. Tugu ini sebagai ejekan atas kekalahan pertempuran Napoleon di Waterloo. Namun Orang Belanda sering menamai singa itu sebagai anjing pudel karena bentuknya yang sekilas lebih mirip anjing.

Sebelumnya di tempat ini juga berdiri monumen untuk mengenang Mayor Jenderal Andres Victor Michiels, seorang komandan Belanda yang tewas ketika memadamkan pemberontakan di Bali pada 23 Mai 1849. Monumen kolonial dan tugu singa itu sendiri dihancurkan pada masa penjajahan Jepang. Dan di era kemerdekaan dibangunlah Tugu Pembebasan Irian Barat tepat di atas tugu singa.

Penamaan Banteng sendiri memiliki banyak versi. Ada yang mengatakan bahwa banteng adalah hewan kesayangan Soekarno yang melambangkan semangat patriotisme Bangsa Indonesia. Beberapa orang menganggap penamaan banteng itu karena dulunya di tempat ini pernah menjadi tempat adu balap sapi dan banteng. Namun beberapa orang mempercayai bahwa konon di lapangan ini dulunya dihuni banteng dan aneka satwa liar.

Setelah puas berfoto-foto, kami hendak melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya. Namun terlihat beberapa penggiat KHI berdebat serius dengan para penjaga keamanan Taman Lapangan Banteng. Saya teringat satu artikel di Harian Kompas seminggu lalu tentang kondisi taman di Jakarta yang sarat dengan pungutan liar. Dengan sedikit bersungut-sungut Dhanu mengeluh di sebelah saya, “Yah… pasti UUD (Ujung-ujungnya Duit). Padahal kami sudah memberitahukan acara ini ke Pos Kepolisian terdekat.”

Saya terdiam sembari bertanya dalam hati, apakah jaman dulu sudah ada pungli di ruang publik semacam ini?

13356791781148946606

Perjalanan pun berlanjut ke arah timur menuju Gedung Kementerian Keuangan yang dulu dikenal sebagai Istana Daendels. Konon bangunan ini dibangun dari material yang dibawa dari reruntuhan bangunan di kota tua. Dulunya di depan bangunan ini terpampang patung Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen yang berdiri angkuh menunjuk jari telunjuknya. Tapi jaman senantiasa berputar. Patung kokoh yang bertahtakan baja, perunggu, dan kuningan ini pun runtuh dan dihancurkan di masa pendudukan Jepang. Saking kuatnya patung Coen, sampai-sampai tangannya dijadikan bahan pistol.

Tak jauh dari Istana Daendels berdiri gedung megah dengan enam pilar kokoh penyangga. Orang-rang Batavia dengan penuh ketakutan menyebutnya sebagai rumah setan. Bangunan yang memiliki loji ini merupakan perkumpulan kaumTheosofi De Ster in het Oosten atau Bintang Timur. Di sinilah pusat kegiatan Freemason,  suatu gerakan yang menjadi kaki tangan zionisme sejak abad ke-18 di Indonesia.

Organisasi ini terlihat begitu tertutup dan merahasiakan sebagian ritual dan kegiatannya. Tak ayal masyarakat sering menduga organisasi ini sebagai perkumpulan pemuja setan. Makanya para pribumi Batavia membisikkan dengan penuh kengerian untuk bangunan di dekat Lapangan Banteng itu. Ketakutan itu perlahan sirna setelah tempat itu diambil alih menjadi gedung farmasi Kimia Farma hingga sekarang.

Tak berapa lama, kami pun sampai ke pemberhentian akhir di Gedung Kesenian Jakarta. Sebuah bangunan warisan Raffles (tahun 1811 – 1816) ini menjadi saksi kegemaran tentara-tentara Inggris terhadap berkesenian. Pada malam peresmian Gedung Kesenian, dipentaskan drama Othello karya pujangga terkemuka William Shakespeare. Sampai sekarang pun, gedung ini tetap eksis untuk senantiasa menampilkan pagelaran seni bercita rasa tinggi dari seniman-seniman terkemuka di jamannya.

Siang kian mendekati titik kulminasi. Beragam kisah tercurah dari penggalan sejarah sepanjang Weltevreden. Pelan saya meninggalkan gedung tua ini sembari menggandeng tangan anakku. Sementara pikirannya masih tak bisa lepas dari Lapangan Banteng, “Sekarang bantengnya sudah mati ya, Ayah?”

Saya memandang wajahnya yang tanpa dosa. Saya mengangguk pelan sembari berbisik, “Tapi sejarah itu tak pernah mati, Anakku.”

1335679299420154706

http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2012/04/29/saat-sejarah-menjadi-kisah-453531.html

BIOGRAFI MICHAEL BUBBLE

Nama: Dwi Chuswanda

NPM:  12211233

Kelas: 4EA03

Sahabat KlikMusik pasti udah kenal sama penyanyi yang satu ini, Michael Steven Buble atau lebih dikenal Michael Buble? Lagunya yang berjudul Home sangat terkenal hingga ke seluruh penjuru dunia dan menjadi sebuah anthem mereka yang merindukan kampong halaman. Buble  adalah seorang penyanyi dan aktor asal Kanada. Buble khas dengan suaranya yang sering disamakan dengan Frank Sinatra. Bublelahir pada 9 September 1975 di Burnaby, British Columbia, Kanada, dari pasangan Lewis Buble dan Amber dan berdarah Italia dari kakeknya Demetrio Santaga. Sejak 2005, Buble memiliki dua kewarganegaraan, yaitu Italia dan Kanada.

Buble sudah memiliki impian untuk menjadi penyanyi tenar sejak berumur 2 tahun dan dirinya sudah memiliki kegemaran kepada musik jazz sejak umur 5 tahun. Bakatnya diketahui oleh keluarga ketika dia berumur 13 tahun ketika menyanyikan lagu Natal. Selain bernyanyi, Bublejuga sangat ingin menjadi pemain hoki profesional, sampai dirinya terkadang akan lebih memilih bermain hoki daripada bernyanyi kalau saja dia bisa bermain dengan baik.
Ayah Buble hanyalah seorang nelayan biasa seorang pemancing salmon di sebuah perusahaan nelayan, begitu juga ibunya yang seorang ibu rumah tangga namun keduanya menyukai musik. Dari kakek-neneknya yang berasal dari Italia-lah, Buble menyukai jazz dan bakatnya juga sangat didukung oleh keduanya. Buble menyatakan bahwa dia tidak pernah belajar menulis dan membaca musik, hanya emosi yang digunakannya dalam menulis lagu-lagu yang begitu indah. Demetrio Santaga, merupakan sosok yang begitu penting dalam karirnya dalam bermusik. Santaga lah yang melatih bakat terpendam yang dimiliki Michael.

Ketika usianya menginjak 14 tahun, ia sudah diajak ayahnya untuk bekerja sebagai nelayan. Ia menganggap, pekerjaan sebagai nelayan ini merupakan “The most deadly physical work I’ll ever know in my lifetime”. Namun, ia mendapat pelajaran, bahwa beginilah seharusnya menjadi seorang pria. Suatu ketika, ia pernah memenangi sebuah festival musik. Namun, dibatalkan, karena usianya yang masih 18, dan masih dianggap dibawah umur. Tidak mau putus asa, tawaran datang dari Bev Delich, yang menyarankan Michael untuk mengikuti ajang pencarian bakat. Hasilnya, Michael menang, dan Delich pun menjadi manajaer.
Hubungan Buble dengan beberapa orang wanita sering menjadi inspirasi baginya untuk menulis lagu. Lagu Home diciptakan untuk kekasih yang sudah lama menjalin hubungan dengannya, Debbie Timuss ketika Buble sedang berada di Italia. Bahkan, Timuss adalah salah satu dedikasi album Buble, Michael Buble dan It’s Time. Pertunangan mereka yang berakhir pada 2005 menjadi inspirasi untuk lagu Lost.
Pada 2005, dia bertemu dengan aktris Inggris, Emily Blunt dan menjalin hubungan dengannya. Lagu Everything tercipta untuk Blunt, namun sayang pada 2008 mereka berdua memutuskan untuk berpisah. Pada November 2009, Buble bertunangan dengan kekasih barunya Luisana Lopilato di Argentina. Lopilato menjadi inspirasi lagu Haven’t Met You Yet.
Buble memulai karirnya dengan membuat tiga album indie, First Dance, Babalu, dan Dream dan tampil di beberapa acara kecil. Karir Michael sebenarnya serba kebetulan. Saat itu, mantan Perdana Menteri Kanada, Brian Mulroney, menyaksikan penampilan Michael, dan mendapatkan CD albumnya. Terkesan dengannya, diundanglah Michael ke acara pernikahan anak perempuan Mulroney. Karena yang diundang bukan tamu sembarangan, maka hadir pula lah, komposer ternama, David Foster, lalu, mereka berdua dikenalkan.

Ya, komposer sekelas Foster pun masih segan untuk merekrut Michael ke labelnya. Hal ini karena, tidak ada pasar yang jelas untuk jenis musik yang diusung Michael. Bahkan, untuk meyakinkan Foster, Michael sampai harus pindah ke Los Angeles. Foster pun setuju, asal Michael mau menanggung uang sebesar 500ribu dolar untuk album tersebut. Akhirnya Foster setuju, untuk memproduksi album Michael. Disaat itu pula, Bruce Allen menjadi manager Buble. Oya, sekedar informasi, Allen juga merupakan manager Bryan Adams.

Album pertama Buble yang bertajuk Michael Buble dirilis pada 11 Februari 2003. Begitu banyak lagu dari album ini yang meraih kesuksesan di beberapa negara, termasuk Kanada, Inggris, Afrika Selatan, dan Australia. Pada 15 Februari 2005, Buble merilis album keduanya, It’s Time. Album ini meraih kesuksesan yang sama bahkan jauh melampaui kesuksesan album pertama. Beberapa penghargaan juga diterimanya, seperti Juno Awards, nominasi dalam Grammy Award, dan banyak lagi.
Album ketiganya, Call Me Irresponsible dirilis pada 1 Mei 2007. Album ini berada pada posisi puncak hanya 2 minggu setelah rilis, satu hal yang jarang bisa diraih orang-orang selain Michael Jackson. Album keempatnya dirilis pada 13 Oktober 2009 berjudul Crazy Love. Salah satu lagu yang menjadi hit adalah Haven’t Met You Yet.
Buble juga ambil bagian di dalam olimpiade musim dingin di Vancouver. Pada 18 April 2010, Buble membawa pulang 4 Juno Awards untuk Juno Fan Choice Award. Ia memenangkan untuk kategori single of the year, album of the year, pop album of the year dan dua nominasi lainnya. Warner Records telah merilis ulang albumnya pada 25 Oktober 2010 yang diberi nama CRAZY LOVE HOLLYWOOD EDITION. Pada 7 September 2010, Buble merilis lagu terbarunya berjudul Hollywood.
Setelah menyelesaikan Tur yang bertajuk Crazy Lovem pada Agustus 2011, tanggal 9 Agustus dia kembali merilis album bertajukCHRISTMAS pada tanggal 9 Agustus lewat akun facebooknya. Kemudian dia menampilkan cover albumnya pada website dan akan mengumumkan rilis tersebut secara resmi pada 22 Agustus 2011. Dalam album baru ini, Buble juga menggaet penyanyi latin Thalia.

Selama ini sosok Michael Buble mungkin dikenal karena musik mellow yang dibawakannya. Namun siapa sangka bahwa di balik sisi bermusik yang melankolis tersebut Buble menyimpan masa lalu yang kejam dan ganas sebagai seorang bad boy. Seperti dilansir dari Bang Showbiz, pelantun tembang Cry Me A River ini mengaku sempat beberapa kali diusir dari pertandingan basket karena kasus perkelahian. Selain itu, dia juga pernah didepak dari salah satu acara TV karena sikapnya yang tidak menyenangkan dalam acara tersebut.

“Aku berkelahi. Aku diusir dari Vancouver Grizzlies gara-gara berkelahi dengan seorang fans. Dan ketika aku bekerja di sebuah klub kecil di Vancouver, aku juga diusir karena berkelahi dengan orang yang melempar rokok pada bartender,” kenangnya.

“Aku didepak dari serial X FILES juga ketika mereka sedang syuting di Vancouver. Saat itu aku hanya pemain figuran yang diberi jatah makan dengan tidak layak, jadi aku putuskan untuk pesan katering dan beli hotdog atas nama mereka. Tentunya itu makan berbiaya besar,” lanjutnya.

Namun demikian, masa-masa gelap yang dialami oleh Buble tersebut telah berakhir sejak dia menikah dengan Luisana Loreley pada April 2011.

DISKOGRAFI
Album
# 2003: MICHAEL BUBLé
# 2005: IT’S TIME
# 2007: CALL ME IRRESPONSIBLE
# 2009: CRAZY LOVE

# 2011: CHRISTMAS
Lagu ciptaan
* “Dumb ol’ Heart” – Here’s to Life! (soundtrack)
* “I’ve Never Been in Love Before” – Here’s to Life! (soundtrack)
* “Home” – It’s Time
* “Lost” – Call Me Irresponsible
* “Everything” – Call Me Irresponsible
* “Mr. Templeton” – Flu Shot (30 Rock)
* “Haven’t Met You Yet” – Crazy Love
* “Hold On” – Crazy Love
* “Hollywood” – Crazy Love
FILMOGRAFI
* 2000: DUETS
* 2001: TOTALLY BLONDE
* 2003: THE SNOW WALKER
* 2004: LAS VEGAS – CATCH OF THE DAY

Doc. Berbagai Sumber.